- Singapura
Dalam sebuah berita internasional di Agence France-Presse (AFP) pada
Februari 2010, dijelaskanan bahwa Politisi Demokrat yang baru menjabat menjadi
Duta Besar Amerika Serikat untuk Singapura, David Adel-man, menegaskan dirinya
akan mempromosikan demokratisasi dan reformasi di negara pulau itu., Adelman
menyebut Singapura sebagai "sebuah kekuatan konstruktif di dunia"
Ditanggapi positif oleh tokoh oposisi Singapura Kenneth Jayaretnam.
Ia mendesak politisi AS itu membuktikan kata-katanya dengan mendorong pemberlakuan
demokrasi multipartai secara murni di Singapura. Sebagai Ketua Partai
Reformasi, Jayaretnam menegaskan dirinya sangat senang dengan niat Adelman. "Partai
Reformasi menyambut baik pernyataan calon Duta Besar yang ingin bekerja bagi
pemberlakuan sistem multipartai secara murni di Singapura."
Menurut tokoh politik yang kerap kali memerahkan kuping rezim
Singapura itu, berdasarkan sejumlah indikator, seperti Indeks Demokrasi Ekonomi
serta laporan Freedom House, Singapura sama sekali bukan negara demokrasi
sesuai terminologi aslinya.
Sejak berdiri pada 1959, Singapura selalu dalam kangkangan kekuasaan
satu partai, yakni Partai Aksi Rakyat (Peoples Action Party/PAP) yang didirikan
dan dipimpin oleh Bapak Pendiri Singapura, Lee Kuan Yew. Dengan sistem itu, Lee
langgeng di kekuasaannya hingga dekade 1990-an. Ketika tidak lagi menjabat
perdana menteri, digantikan Goh Chok Tong, Lee tetap mempertahankan pengaruhnya
dengan menduduki jabatan Menteri Senior. Jabatan yang ia genggam hingga
kekuasaan kini berada di tangan putranya, Lee Hsien Long.
Dengan prinsip stabilitas dan peraturan serbaketat, Singapura di
bahwa sistem politik yang diciptakan Lee, memang berhasil berubah dari kota
pelabuhan kecil menjadi negara terkaya di Asia. Namun, harga untuk itu adalah
pengekangan terhadap hak-hak sipil dan kebebasan politik. Jeyaretnam merupakan
seorang pakar ekonomi yang mengambil alih kepemimpinan Partai Reformasi dari
ayahnya, politisi veteran JB Jeyaretnam yang dimusuhi PAP dan beberapa lama
mendekam di penjara sebelum meninggal dunia tahun lalu.
2
China
"Bila
seorang Jenderal memperlakukan pasukannya seperti
anak kesayangannya, mereka bersedia mendukung dan mati
bersamanya" (Sun Zi,
Jenderal Perang Kuno China)
Meski Cina masih menutup-nutupi peristiwa Tiananmen, tetapi
bersamaan dengan peningkatan kemajuan ekonomi yang menjadi ancaman
negara-negara industri maju, ada pelajaran penting yang dimainkan China yang
tak lepas dari strategi Seni Perang Sun Zi. Sun Zi mengajarkan strategi humanis
yang tampak begitu kelihatan tatkala China teguh menempuh jalan politik sendiri
yang lebih cocok dengan kebutuhan domestik.
Para penguasa China paham betul hukum ekonomi kapitalisme pasar,
yakni bagaimana mengakumulasi kapital dan mengeruk keuntungan bahkan untuk satu
dollar investasi sekalipun. Karena itu, mereka lebih mengutamakan reformasi kelembagaan
pemerintahan-efisiensi birokrasi, peningkatan mutu pelayanan publik,
efektivitas regulasi, akuntabilitas dan transparansi, penegakan hukum dan
perkuatan peradilan, yang lebih dibutuhkan guna memfasilitasi investasi asing
ketimbang demokratisasi. Pemerintah China yakin, para investor asing lebih
memilih jaminan stabilitas politik dan keamanan serta kepastian hukum dalam
berinvestasi ketimbang memilih tipe pemerintahan: otoriter atau demokrasi.
China menempuh jalan pragmatis dengan menyerap unsur-unsur pokok
kapitalisme pasar,tetapi tetap memelihara nilai-nilai ideologi sosialisme yang
berakar kuat dalam tradisi politik mereka. China mengabaikan pertentangan
ideologis dan menjalankan modernisasi dengan memeluk kapitalisme meski tetap
setia pada sosialisme, langkah ganjil dan penuh paradoks.
Saksikan, negara-negara berideologi serupa, seperti Vietnam dan
Laos, mengadopsi strategi pembangunan ekonomi China dan menjadikannya model.
Jalan pragmatisme China memberi inspirasi negara-negara serumpun di Asia Timur
dalam membangun ekonomi. Bahkan, Iran, Afrika, dan Amerika Latin juga tertarik
pendekatan dan strategi China. Mereka mengundang ahli hukum, ekonomi, dan
politik China untuk menyampaikan public lecture bagi pejabat pemerintahan,
akademisi, dan pengamat bagaimana menjalankan state-led economic development
with limited political reforms itu.
Dengan mempelajari Gerak Ekonomi-China ini
tentunya dapat dijadikan model, karena jalan pragmatisme China ini sangat
menginspirasi pembangunan perekonomian. Apalagi, bagi negara yang menganut
sistem demokrasi liberal, tetapi berpendapatan per kapita rendah seperti
Indonesia, Filipina, dan Banglades. Karena apa yang diajarkan China tetap
menyerap unsur-unsur pokok kapatalisme pasar dengan tetap memelihara
nilai-nilai ideologi sosialisme yang berakar urat dalam tradisi politik. Hal
ini selaras dengan apa yang diajarkan Sun Zi, "Kemampuan untuk
mencegah kekalahan bergantung pada diri sendiri, sementara peluang untuk menang
bergantung pada musuh."
No comments:
Post a Comment